Viewers

Sunday, March 15, 2015

Childhood [Part 2: Sekolah Dasar]

DI SD, aku duduk sebangku dengan teman waktu aku masih di taman kanak-kanak dulu, Ananda atau Nanda. Ia memiliki rambut panjang, kulitnya putih, dan postur tubuh yang kecil. Ia sangat lucu, ditambah lagi dengan suaranya yang cempreng. Namun aku tidak berteman dekat dengannya.
Ami? Ya, ia tidak bermain dengan ku, tapi aku tidak merasa cemburu atau sedih.
Hari pertama aku masuk sekolah, aku masih di temani ibuku sampai bel masuk, aku merupakan seorang yang amat sangat menyukai cemilan, di depan sekolah ku banyak sekali tukang jajanan yang menggoda seperti batagor, es kelapa, empek-empek, dan masih banyak lagi. Aku minta dibelikan batagor, lalu es kelapa, hingga uang jajan ku habis padahal belum masuk pelajaran, dan ibuku memarahiku.
“jajan banyak-banyak banget sih, besok mama kasih 1000 aja ya!”
“yah…mama jangan dong”
“ya lagian kamu kalo pegang uang boros banget sih”
“besok enggak lagi deh ma…”
Memang waktu itu jajanan belum mahal seperti sekarang, harga batagor dulu masih 500, tapi sekarang beli 1000 pun kadang tidak dikasih.
Semua yang dikatakan sama ibuku ternyata benar, keesokan harinya aku diberi uang jajan 1000.
“yah…mama masa 1000 doang sih”
“udah, daripada kamu boros, cukup-cukupin aja”
“yah..yaudah deh ma”
Untung istirahat hanya 1 kali, jadi aku tidak perlu banyak jajan. Aku satu sekolah dengan abangku, terkadang kalau abangku membeli batagor, aku suka minta, hehe. Ibuku berpesan, “jangan suka beli minum-minuman gelas, nanti batuk, pakai gula biang soalnya” aku selalu mengingat pesan dari ibuku, dan karena pada saat itu umurku masih sangat kanak-kanak, aku sangat patuh dengan kata-kata ibuku.
Pernah sekali aku tidak sengaja melihat abangku minum minuman gelas di kantin,
“kak, kan kata mama gak boleh minum gituan”
“sssttt…udah, jangan bilang-bilang mama lho”
Sepulang sekolah, aku pulang terlebih dahulu daripada abangku, aku langsung mengadu kepada ibuku tentang abangku di sekolah tadi
“mah..mah, masa tadi Ifa liat kakak minum minuman gelas gitu ma”
“wah kakak bandel ya, dibilang jangan minum begituan masih aja”
Tidak lama kemudian abangku pulang…
“kakak tadi di sekolah minum minuman gelas ya? Tanya ibuku
“enggak kok ma..kata siapa?”
“udah jujur aja deh..mama tau kok kamu bohong”
“iya, ma, kakak tadi beli minuman gelas di kantin”
“udah dibilangin jangan beli, masih aja beli”
“iya..besok enggak lagi kok ma”
Abangku langsung menghampiri ku…
“ini pasti Ifa bilang-bilang mama ya?”
“iya, lagian kakak beli gituan, kan gak boleh”
“awas ya, kalau Ifa ketahuan beli minuman gelas kakak bilangin mama lho”
“bilangin aja” nada ku meledek
Semenjak di SD ini, aku tidak terlalu sering bermain dengan Ami, ia suka mengajak teman sekelasnya bermain ke rumahnya. Tapi kalau ada temannya aku tetap ikutan bermain, namun aku merasa tidak nyaman, karena tidak enak seperti dulu.
Sesekali aku masih suka bermain ke rumah Ami, bermain dengan kakaknya.
“main restoran-restoranan aja yuk” Kata Ami,
“ayuk, aku jadi pembelinya ya” sambung aku
“teteh jadi pelayannya, Ami juga pembelinya”
“yaudah. Ibu mau pesan apa?”
“aku mau 1 gelas air manis hangat ya” aku pura-pura memesan
“kalau ibu mau apa?” kata teteh sambal menengok ke Ami
“aku mau jus jeruk satu ya”
“oke, tunggu sebentar ya, bu”
…………
“ini untuk ibu Ifa, 1 gelas air manis hangat, dan ini untuk ibu Ami, 1 gelas jus jeruk” teteh memberi 2 gelas, yang satu punyaku benar berisi air manis hangat, tetapi untuk Ami hanya air putih yang pura-pura sebagai jus jeruk
“aduh, airnya masih panas banget, tambahin air dong” akhrinya aku menambahkan sedikit air dingin, tetapi membuat rasanya menjadi tidak manis.
Lama kelamaan kepalaku terasa pusing karena terlalu banyak meminum air manis itu, karena tak tahan aku memuntahkan semuanya.
“kenapa Ifa?” Tanya teteh
“enggak apa-apa, tadi airnya bikin mual” jawabku
“oohh…”
Keesokan harinya, setelah pulang sekolah aku main ke rumah Ami, menonton VCD.
“mau nonton yang mana Fa?”
“Teletubies aja Mi, yang ini” aku memilih salah satu film kesukaanku ketika masih kecil dulu.
Dulu sewaktu aku masih di taman kanak-kanak, aku selalu bangun sangat pagi hanya untuk menonton acara Dora The Explorer atau Teletubies dari mulai jam setengah 5 pagi.
“Teletubies…Teletubies, berpelukan” suara dari TV.
“Mi, video-in dong pakai handphone papa kamu” seruku.
“tapi jangan lama-lama ya, takut dimarahin”
Saat di sekolah, aku bercerita tentang Teletubies kemarin di depan teman-teman Ami, teman-teman Ami hanya melihat ku dengar tatapan kebingungan dan Ami hanya senyam-senyum, jujur aku sangat kesal, tapi aku hanya diam dan melupakan hal itu. Ingin rasanya aku memarahi mereka, “ngapain sih lo pada ngeliatin gue!”
Pernah sekali waktu aku main ke rumah Ami, Ami sedang bermain dengan teman sekelasnya…
“eh Ifa, sini enggak apa-apa, ikutan” kata Ami
“ah enggak ah Mi, aku pulang aja” kataku merasa sedikit sedih
“udah gak apa-apa Ifa, ikutan aja” sambung ibunya Ami
“yaudah, deh”
Akhirnya aku ikut bermain bersama mereka, namun aku hanya diam dan tidak banyak bicara karena aku tidak kenal dengan mereka. Tidak lama kemudian aku pulang karena merasa kesal.
“lho kok udah pulang dek? Tumben, biasanya sampai sore” Tanya mama ku
“iya, ada temennya Ami ma, gak enak”
“oohh…siapa?”
“enggak tau, gak kenal”
Sebenarnya aku sangat tidak suka kalau ada orang lain antara aku dan Ami saat bermain, aku tidak ingin persahabatan aku dan Ami memiliki jarak. Aku itu orangnya apabila sudah klop dengan satu orang, tidak ingin ada yang mengganggu. Tapi lama-lama aku terbiasa tidak terlalu sering main dengan Ami.
Di kelasku, aku bermain dengan Diana, Nanda, Olla, Putri, dan Siti. Aku belum mengenal semua teman-teman sekelas ku padahal sudah lumayan lama. Pada saat naik-naikan ke kelas 2, aku mendapat peringkat 3 di kelas. Alhamdulillah.
“Ami, kamu peringkat berapa?” tanyaku
“gak tau, Fa” jawab Ami sambil menunduk.
Sesampainya di rumah aku tanya ibuku..
“Ma, mama tau gak Ami peringkat berapa? Masa tadi Ifa tanya Ami jawabnya nunduk gitu”
“Iya, ternyata Ami dapat peringkat 7” jawab mama
“oohhh..gitu”
Di kelas 2, aku juga tidak sekelas dengan Ami. Aku 2a, ia 2b. Sudah mulai mengenal banyak teman sekelasku, Fitri, Hikmah, Ria, Dinda, dan masih banyak lagi tapi aku lebih dekat dengan Diana. Fitri dan Hikmah adalah sahabat dekat, waktu itu ia sedang saling marahan. Teman-temanku sangat lucu bertanya “Ifa, kamu pilih siapa? Hikmah atau Fitri” aku jawab “Hikmah, deh”. Teman-teman ku ternyata banyak memilih hikmah, lalu salah satu temanku ada yang memberi tau “Fa, si Fitri kan nangis gara-gara yang milih dia sedikit”.
Kalau waktu dulu, aku merasa kasihan, tetapi sekarang aku ingin tertawa kalau mengingatnya. Dasar anak-anak. Berhari-hari Hikmah dan Fitri marahan akhirnya baikan juga, Fitri pun tidak perlu menangis lagi karena sedikit yang memilihnya, karena setiap hari teman ku selalu bertanya “pilih Hikmah atau Fitri?”. Anak-anak perempuan sekelas selalu mengikuti Hikmah kemana-mana, ke kantin, jalan-jalan mondar-mandir, bahkan buang sampah.
Saat pulang sekolah aku selalu bareng Ami dan Diana, hari ini begitu terik, Ami sangat lama keluar kelas, dan sebelum pulang ia membeli mainan dan memilihnya sangat lama
“Ami cepetan dong, panas nih” aku bergerutu
“sebentar dong, Ifa” jawabnya
“tapi ini panas banget” aku mengomel
“yaudah, deh!”
Ami jalan sangat cepat mendahului aku dan Diana, aku rasa ia marah, tapi lagian kan ini sangat terik. Aku ngoceh sepanjang jalan
“Ami kalau mau beli mainan milihnya jangan lama-lama dong, udah tau lagi panas banget, gerah tau, besok kan juga bias, gak jadi beli juga kan ujung-ujungnya”
Aku menggerutu tidak jelas sepanjang jalan, habismya aku kesal, entah kenapa. Kebesokannya Ami sama sekali tidak menegurku, sepertinya ia marah, ah tapi masa iya sih, aku tidak pernah berantem dengan Ami. Aku mencoba bertanya kepada Ami, dia marah atau tidak. Tapi ia hanya diam saja, pura-pura tidak mendengar. Aku bilang ke ibuku tentang Ami, ibuku juga bercerita ke ibunya Ami, ternyata Ami marah denganku, padahal aku hanya kesal kemarin saja tapi Ami sepertinya sakit hati, tapi aku sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata yang membuatnya sakit hati, aku hanya berkali-kali bilang “jangan lama-lama dong, udah tau panas banget”. Ternyata Ami sangat susah diminta maafnya, aku main ke rumahnya, ia tidak mau keluar, di sekolah aku minta maaf, aku dicuekin. Ya sudah, aku diam saja, hampir satu bulan aku dan Ami bertengkar, tidak pernah main ke rumah, tidak menegur, dan lain-lain. Sepertinya ibunya Ami membujuk Ami suapaya tidak terus marah-marahan denganku. Ibuku menyuruhku main ke rumah Ami.
“enggak ah, ma, nanti Ifa dicuekin”
“enggak..udah sana main”
“mama temenin Ifa, ya?”
“iya, ayuk mama anterin”
Aku sebenarnya takut ingin main ke rumah Ami, karena ia tidak mau di ajak mengobrol. Sampai di rumah Ami, ia senyum ke padaku lalu meminta maaf”
“Ifa, maafin aku, ya” katanya dengan nada sangat lembut
“iya, Mi, aku juga minta maaf ya”
“iya enggak apa-apa”
Sekarang Ami sudah punya teman main baru, namanya Nur, ia juga teman ku, tapi aku tidak terlalu mengenalnya. Aku normal-normal saja dengan Ami, namun Ami terlihat kaku. Aku sekarang jarang pulang sekolah bareng dengan Ami, tapi itu hanya awal-awal saja, lama-lama kami seperti biasa lagi.
Aku mendapat kabar bahwa Ami akan pindah rumah saat naik-naikan kelas 3 nanti. Tidak! Aku tidak mau berpisah dengan Ami, aku tidak mau jauh-jauh dengan Ami. Aku sangat sedih. Di sekolah aku tanya Ami, apakah ia akan benar ingin pindah rumah.
“Ami, emang kamu beneran mau pindah rumah?” tanya ku
“iya, Fa, nanti kalau aku kelas 3 aku pindah ke Bogor..”
“yahhhhh Ami….kita gak bisa main lagi dong”
“bisa kok, Fa, kalo kamu main ke rumah aku nanti”
“iya tapi kan jauh, Mi”
“iyaa..semoga aja aku sering-sering main ke sini”
“tapi aku gak mau kita pisah, Mi”
“iya, aku juga, Fa”
Di rumah, aku tanya ibuku
“ma, emang bener Ami mau pindah ke Bogor?”
“iya, katanya sih gitu”
“emang kenapa ma?”
“katanya rumahnya mau di pakai buat kantor”
“kantor siapa emangnya?”
“mama juga gak tau”
Aku sesering mungkin main ke rumah Ami, sampai malam pun aku bermain ke rumahnya. Sampai ada saudaranya pun aku tidak mau pulang. Aku ingat waktu masih TK dulu, aku sakit demam berdarah dengue berbarengan dengan Ami. Begitu lah sahabat, sakit pun bisa sama.
Pada saat mendekati hari Ami akan pindah rumah, aku main ke rumahnya hingga jam 9 malam.
“Ami, aku bakalan kangen sama kamu”
“iya aku juga”
Aku pulang ke rumah dengan wajah sedih. Di rumah ibuku bertanya “kok pulang?” mama…mama, rumah aku kan disini… “kalo boleh balik lagi sih Ifa balik lagi ma” jawab ku.
Keesokan harinya ternyata Ifa belum pergi, aku sangat senang karena bisa bermain lagi dengan Ami. Tapi semester 2 akan segera berakhir, dan cepat atau lambat Ami akan pindah. Tiba saatnya Ambil rapot naik-naikan kelas 3, aku kembali mendapat peringkat 3 di kelas. Beberapa hari kemudian ternyata waktunya Ami pindah, aku mendatangi rumahnya, barang-barangnya sudah di kemas.
“yah, Ifa jarang main lagi deh sama Ami” kata ibunya Ami
“iya..Ami main sering-seringin ke sini ya”
“iya, Ifa juga nanti nginap di sana ya”
“horeeee!!!”
Aku dan Ami hanya saling melempar senyum, tidak tahu apa yang akan di bicarakan. Tidak lama kemudian Ami berangkat bersama ayah dan ibunya, hal yang paling menyedihkan dalam hidupku. Aku berlari ke jalanan untuk melihat Ami.
“daaaahhhh Ami…” aku melambaikan tangan
“dadaaaa”
“daaahhhh”
Tidak bosan-bosannya aku melaimbaikan tangan hingga motor yang di naikinya tidak terlihat lagi, sampai motornya benar-benar tidak terlihat, aku pulang. Aku tidak menangis, mungkin terlalu sedih untuk di tangisi. Sepasang sahabat hampir 7 tahun pun harus berpisah. Aku masih terus membayani Ami, aku ingin mandi sore lagi bersamanya, makan satu piring dengannya, membereskan mainan yang berantakan, bermain scooter, berangkat sekolah bareng, pulang sekolah bareng. Aku pasti akan cemburu melihat Ami bermain dengan teman barunya. Aku tidak mau kalau aku tergantikan dengan teman barunya. Tapi keadaan membuat itu menjadi terbalik.

Saturday, March 14, 2015

Childhood [Part 1: Ami]

Aku rasa belum ada orang yang cocok bersahabat dengan ku. Sudah berulang kali aku mendapatkan teman dekat, namun tidak pernah bertahan lama.
Aku, Ifabella, atau biasa dipanggil Ifa. Aku berumur 14 tahun duduk di bangku kelas 2 SMP.
Sewaktu aku berumur 3 tahun, aku memiliki teman, teman dekat, sahabat, atau bahkan seperti saudara, bernama Isrami atau Ami. Kami berteman sangat akrab. Kami satu sekolah, setiap aku akan berangkat sekolah ia tidak pernah tidak menyampar ku.
"Ifa...!" 
"Iya sebentar ya"
"Ayuk cepetan keburu siang"
"Iyaudah yuk jalan"
Kami selalu diantar oleh orang tua kami. melewati pasar, menyeberangi rel, adalah hal yang selalu kami lakukan saat menuju sekolah.
Jarak rumah kami pun tidak terlalu jauh, setiap hari aku tidak pernah tidak pergi main ke rumahnya. Setiap pulang sekolah, aku ganti baju, makan, lalu pergi main ke rumah nya. Selalu begitu.
Mandi bareng, makan bareng, berangkat sekolah bareng, dan masih banyak.
Saat umurku 5 setengah tahun aku akan di masukkan ke sekolah dasar oleh ibuku. Namun saat pendaftaran guru nya bilang, "maaf ya, bu, umur anaknya belum cukup, sebaiknya satu tahun lagi." Ya, karena aku lahir di bulan november, umurku kurang 4 bulan pada saat itu. Tapi selain itu, aku juga belum mau masuk sekolah dasar karena Ami masih ingin paud. Hahahaha. Memang aku dengan Ami layaknya bayangan. Kalau aku tidak ada, yaa Ami pun juga tidak ada. Akhirnya aku dan Ami mengulang sampai tahun depan.
Hari ini kebetulan aku sudah rapih lebih dahulu dan Ami juga belum menyampar ku, aku pun menyamparnya.
"Ami...!"
"Iya masuk aja dulu"
"Mi udah jam segini, cepetan"
"Iya sebentar aku bedakan dulu"
"Haduhhh, kalau aku aja udah jam segini di suruh cepet-cepet"
"Iya sebentar"
"Itu bibirnya kenapa merah? Pakai lipstick ya?"
"Nggak kok, abis minum fanta tadi"
"Alah, bohong aja"
"Itu liat aja di kulkas, masih ada fanta nya"
"Iya deh, yaudah aku ke rumah dulu, ya, ambil tas"
"Iya nanti balik lagi ya"
"Iyee"
Seorang Ami, kalau aku tinggal berangkat sekolah duluan, pasti akan ngambek dan tidak mau berangkat sekolah, walaupun dia tau aku sudah di sekolah. Sebenarnya aku tidak tega meninggalkannya, tapi aku terkadang merasa geregetan kalau dia terlalu lama-lama siap-siap.
Walaupun terkadang aku suka meninggalkannya, ia tidak pernah marah.
Setelah pulang sekolah aku main ke rumahnya. Main ayunan, aku pusing kalau terlalu kencang apalagi sambil mengobrol, ingin muntah rasanya. Tapi Ami selalu mendorongnya kencang-kencang dan tertawa melihatku pegangan erat-erat pada pegangan ayunannya.
"Ami jangan kencang-kencang!! Pusing!!"
"Hahahahaha"
"Mual Miii...udahhh"
"Hahahhahaha"
"Udah ah turun aja!"
"Main file aja yuk, kamu ambil dong, Mi, file kamu"
"Iyaudah aku ambil dulu ya"
"Iya"
Aku pulang sebentar ke rumah untuk mengambile mainan file untuk anak-anak yang lembaran kertasnya bergambar-gambar lucu. Aku dan Ami sangat senang mengoleksinya, kalau ayah Ami membelikannya 1 pack, Ami akan membaginya. 
"Tukeran binder ya"
"Nih kamu pilih aja, 2 ya"
"Iya fa, aku mau yang ini"
"Iya ambil aja, aku suka yang ini, lucu..buat aku ya"
"Ah jangan ah, yang seperti itu jarang"
"Yah..ami, sama aku gini..."
"Enggak ah.."
"Main gunting batu kertas aja yuk"
Gunting batu kertas maksudnya, kami mengambil salah satu binder lalu suit gunting batu kertas, dan yang menang akan mendapat binder yang sudah kita ambil.
"Gunting batu kerrrrtas!"
"Yeeee aku menang! sini, fa, bindernya"
"Yahhh, nih, deh"
"Gunting batu kerrrrtas!"
"Horeee aku yang menang! Mana, Mi, bindernya"
"Uhh dasar!"
"Udah sore, mandi yuk!"
"Mandi bareng aja, fa"
"Yaudah aku ambil baju dulu ya, Mi"
"Oke, balik lagi ya"
"Iya"
Aku dan Ami terkadang mandi bersama di rumahnya. Selesai mandi, aku pulang ke rumah ku. Rasanya sama saja ya? Hehe.
Hari demi hari, bulan demi bulan, umurku sudah 6 setengah tahun. Aku pun mendaftar di sekolah dasar, yang sama dengan Ami. Memang tidak terpisahkan. Sekarang umurku sudah cukup, dan aku bersekolah di sekolah dasar dekat dengan rumahku.
Namun aku dengan Ami tidak satu kelas, aku 1a, ia 1b. Orang tuanya sengaja meminta agar aku dan Ami tidak satu kelas, karena apabila kita satu kelas lagi seperti waktu masih di taman kanak-kanak, Ami akan bergantung dengan ku.